PROBLEMATIKA KELUARGA DALAM MASYARAKAT KONTEMPORER : MENIKAH BEDA AGAMA



Perkawinan sudah merupakan sunnatullah yang berlaku secara umum dan perilaku makhluk ciptaan Tuhan, agar dengan perkawinan kehidupan di alam dunia ini bisa berkembang untuk meramaikan alam yang luas ini dari generasi ke generasi berikutnya. Perkawinan adalah tuntutan naluri yang berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan menurut KHI adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau “mitsaqan gholidan” untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Indonesia  adalah  bangsa  yang  memiliki  banyak  agama  yang  dianut  oleh penduduknya.  Perbedaan  agama  ini   menimbulkan  hubungan  sosial  antar  individu, dengan bermacam-macam agama. Hubungan social ini kadang kala akan berujung pada pernikahan beda agama.

Dalam pandangan  Islam,  kehidupan  keluarga  seperti  itu  tidak  akan  terwujud secara  sempurna  kecuali  jika  suami  isteri  berpegang  kepada  agama  yang  sama.  Jika agama keduanya berbeda akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, dalam melaksanakan  ibadah,  pendidikan  anak,  pengaturan  makanan,  pembinaan  tradisi keagamaan, dan lain-lain.

Muslim  menikahi  wanita musyrikah atau ahlul  kitab jelas  diharamkan  sesuai firman-Nya surat al-Baqarah: 221tersebut. Namun, demi menjaga kebahagiaan dalam keluarga, Islam mengecualikan terhadap penikahan Muslim dengan perempuan ahlul kitab  seperti  dalam  surat  al-Maidah:  5.  Intinya  Allah  memperbolehkan  pernikahan Muslim  dengan  perempuan ahlul  kitab yaitu  Yahudi  dan  Nasrani. Dalam  kasus  ini, kebanyakan ulama‟ menganggap praktek tersebut  hukumnya makruh  tanzih bukan makruh  tahrim. Maksudnya  seorang  Muslim  lebih  baik  menikah  dengan  Muslimah, karena  apabila  menikah  dengan  perempuan ahlul  kitab berarti  melawan  yang  lebih utama. Akan tetapi hal ini tidak bedosa. 

Perkawinan  beda  agama  juga  dilarang  oleh Undang-undang  nomor  1  Tahun 1974  tentang  perkawinan  pasal  2  ayat  (1)  yang  berbunyi:”Perkawinan  adalah  sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Kemudian ayat 2 pasal 2 berbunyi; “Tiap-tiap perkawinan di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Senada  dengan  pendapat  tersebut  adalah  fatwa  Majelis  Ulama  Indonesia (MUI).  Melalui  fatwanya,  MUI  melarang  perkawinan  antara  orang  muslim  dan non muslim (baik ahl al-kitab maupun bukan ahl al-kitab), baik laki-lakinya yang muslim   maupun   perempuannya   yang   muslimah.   Pertimbangan   atau   alasan dikeluarkannya   fatwa   MUI   tersebut   adalah   untuk   menghindari timbulnya keburukan/kerugian (mafsadat) yang lebih besar disamping kebaikan/keuntungan (maslahat) yang ditimbulkan.



SUMBER :

Nurcahaya, Mawardi Dalimunthe, Srimurhayati. ejournal.uin. PERKAWINANBEDA AGAMADALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. Hukum Islam,VolXVIIINo. 2Desember  2018. Diakses di : http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/hukumislam/article/view/4973/3899


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MENERAPKAN PEMBELAJARAN MEMBACA DI KELAS 1 SD

Keluarga Muslim Sebagai Fondasi Dasar dalam Membangun Peradaban

Konsep Keluarga Muslim dan Fungsinya Dalam Perkembangan Peradaban